Ucapan tersebut sering dilontarkan oleh orang-orang Yahudi untuk menyakiti hati Nabi Shallallaahu 'alaihi wa sallam , sedangkan kaum Muslimin ketika mengucapkan ungkapan tersebut sama sekali tidak bermaksud demikian, namun begitu Allah tetap melarang mereka mengucapkannya tetapi tidak memvonis kafir terhadap mereka saat mereka mengucapkannya.
Arti dari raa'ina di kalangan orang-orang Yahudi menunjukkan makna ketololan (bahasa Ibrani). Kaidah yang berlaku dalam hal ini: "Konsekuensi dari suatu ucapan (yang dapat memvonis kafir) tidak dapat dijadikan pegangan untuk memvonis kafir kecuali bila orang yang divonis kafir tersebut ( al-Mu'ayyan) komitmen dengan ucapan itu". Syarat Kedua: Tegaknya hujjah Diantara dalil-dalilnya adalah sebagai berikut: Firman Allah: "Dan tidaklah Kami mengazab (suatu kaum) hingga Kami utus (kepada mereka) seorang Rasul". (al-Isra': 15), dan firman Allah : "Mereka mengakui dosa mereka. Maka kebinasaanlah bagi penghuni-penghuni neraka yang menyala-nyala". (al-Mulk: 11) Syaikhul Islam, Ibnu Taimiyah Rahimahullaah berkata: "Tidak seorangpun yang berhak memvonis kafir terhadap siapa pun dari kaum Muslimin meskipun dia bersalah dan keliru hingga dijelaskan kepadanya dengan hujjah yang kuat dan jelas. Orang yang telah mantap keislamannya secara yakin, maka hal itu tidak bisa dihapus oleh keraguan terhadapnya bahkan tidak akan hapus kecuali telah dijelaskan kepadanya hujjah yang
ii
memuaskan dan tidak ada lagi syubhat yang berkaitan dengannya". (Lihat: Al-Fataawa, XII, hal. 466). Firman Allah: "maka berilah peringatan jika peringatan itu bermanfaat". Al-Hasan al-Bashri berkata (berkaitan dengan makna ayat tersebut): "sebagai peringatan bagi seorang Mukmin dan hujjah atas orang kafir". (lihat: Tafsir al-Qurthubi, XX/20). Dalam ayat tersebut kata "an-Naf'u" (manfaat) dipaparkan secara mutlak, yakni tanpa ada kaitan dengan sesuatu. Firman Allah: "orang yang takut (kepada azab Allah) akan mengingatnya/ menjadikannya sebagai pelajaran dan orang yang sengsara akan menjauhinya". Syaikhul Islam, Ibnu Taimiyah Rahimahullaah berkata: "Tidak tersisa satupun dari fauj (rombongan manusia) yang masuk neraka kecuali mereka dahulunya telah didatangi oleh seorang nadzir (seorang Nabi/Rasul yang memberikan peringatan kepada mereka); jadi, orang yang tidak didatangi oleh nadzir tersebut maka dia tidak masuk neraka".
Mawaani' (Hal-Hal yang mencegah dan menghalangi) dalam memvonis kafir terhadap orang per-orang/individu tertentu Pertama; Faktor Kesalahan Kesalahan dalam masalah-masalah 'ilmiyyah (teoritis) atau masalah 'amaliyah (praktis) yang terjadi merupakan kesalahan yang terampuni selama belum dijelaskan hujjah (yang jelas dan kuat) kepada pelakunya. Hal ini dapat terjadi terhadap dua kelompok manusia: Kelompok Pertama, Seorang Mujtahid yang salah dalam memberikan vonis hukum terhadap suatu masalah. Syaikhul Islam berkata: "Seorang Mujtahid yang salah mendapatkan satu pahala sebab maksudnya adalah untuk mencari kebenaran sesuai dengan ke-mampuannya. Jadi, dia tidak memberikan suatu vonis hukum kecuali berdasarkan dalil…". (Lihat: al-Fataawa, XX/30-31). Allah berfirman: "Wahai Tuhan kami, janganlah engkau hukum kami jika kami lupa atau bersalah". Kelompok kedua; yaitu seorang yang tidak memberikan komentar hukum apa pun terhadap suatu masalah (abstain) Maksudnya adalah orang yang tidak mampu untuk menemukan hukum yang berkaitan dengan masalah tersebut sehingga membuat dia tidak memberikan vonis hukum, baik menafikan atau menetapkan. Jadi, tidak boleh memvonis kafir terhadap orang seperti ini seba-gaimana tidak bolehnya memvonis kafir terhadap seorang Mujtahid yang salah. Diantara dalil-dalilnya adalah sebagai berikut:
1. Ayat terakhir surat al-Baqarah: "Allah tidak akan membebani suatu jiwa kecuali sesuai dengan kemampuannya..." (al-Baqarah: 286)
2. Firman Allah Ta'ala: "dan tidak ada dosa atasmu terhadap apa yang kamu khilaf padanya, tetapi (yang ada dosanya) apa yang disengaja oleh hatimu…". (al-Ahzaab; 5)
iii
3. Hadits dari Nabi n bahwasanya beliau bersabda: "Sesungguhnya Allah telah meletakkan (tidak menjadikan sebagai beban/taklif sehingga divonis dengan suatu hukum-red) dari umatku; kesalahan, kelupaan dan hal yang dilakukan karena dipaksa".
4. Bahwa Allah memerintahkan agar bertakwa kepadaNya sesuai dengan kemampuan dalam firmanNya: "maka bertakwalah kalian sesuai dengan kemampuan kalian".
5. Al-Ijma': Syaikhul Islam berkata: "Para shahabat dan seluruh imam kaum Muslimin telah bersepakat secara ijma' bahwa tidak semua orang yang menge-mukakan suatu pendapat yang salah, maka orang tersebut kemudian divonis kafir karenanya meskipun dia menyelisihi as-Sunnah. Jadi, memvonis kafir terhadap setiap orang yang bersalah bertentangan dengan ijma' ". (lihat: Majmu' al-Fataawa: VII/685)
6. Qiyas al-Awla (analogi prioritas): hal ini lantaran seorang Mujtahid yang bersalah lebih utama untuk diterima 'uzurnya ketimbang seorang Jahil yang tidak mencari ilmu (syar'i) . Syaikhul Islam berkata: "tidak diragukan lagi bahwa kesalahan dalam ilmu yang diperlukan kajian secara mendetail di dalamnya adalah dimaafkan bagi umat ini, sebab bila tidak demikian niscaya mayoritas orang-orang utama di kalangan umat ini akan binasa". (lihat: Majmu' al-Fataawa, 20/165-166).
Syaikhul Islam berkata lagi : "Meskipun Ulama Salaf berbeda pendapat dalam banyak masalah namun tak seorangpun dari mereka yang bersaksi atas kekufuran, kefasikan bahkan kemaksiatan yang diperbuat oleh sebagian yang lainnya". Kedua; Faktor Kebodohan/ketidak-tahuan
Kebodohan/ketidaktahuan merupakan salah satu maani' (penghalang) dalam memvonis kafir terhadap orang per-orang sebab keimanan seseorang erat hubungannya dengan pengetahuan (ilmu) sedangkan mengetahui sesuatu yang diimani merupakan syarat dari ke-imanan kepadanya (sesuatu tersebut). Firman Allah Ta'ala: "…Dan tidaklah Kami mengazab (suatu kaum) hingga Kami mengutus kepada mereka seorang Rasul". (al-Isra': 15) Bahwa ketidaktahuan tentang sebagian masalah aqidah terjadi juga terhadap sebagian shahabat, meskipun demikian Nabi Shallallaahu 'alaihi wa sallam tidak memvonis kafir mereka bahkan tidak memvonis mereka berdosa atas perbuatan tersebut. Hadits: "seorang laki-laki telah berbuat boros terhadap dirinya, lalu tatkala maut menjemputnya dia berwasiat kepada anak-anaknya seraya berucap: 'bila aku mati maka bakarlah aku, tumbuklah (abunya) dan taburkanlah dibawah deru angin laut…". (HR. Muslim). Dalam beralasan dengan kebodohan/ketidaktahuan tersebut perlu diperhatikan perbedaan kondisi , tempat dan waktu mereka dilihat dari sisi signifikasi tersebar atau tidaknya pengetahuan tentang hal tersebut. Begitu juga, perlu diperhatikan jenis sunnah
iv
Rasul yang diingkari oleh si Jahil; apakah termasuk jenis yang sudah diketahui oleh umum secara luas alias tak seorangpun yang tidak mengetahuinya?. Ketiga; Faktor Kelemahan/Ketidak-mampuan Seseorang tidak akan dibebani syara' bila tidak mampu, Allah berfir-man: "Allah tidak akan membebani suatu jiwa kecuali sesuai dengan kemampuan-nya". Syaikhul Islam berkata: "barangsiapa yang meninggalkan sebagian keimanan yang wajib (diketahui olehnya) disebabkan ketidak mampuannya; baik hal itu karena dia tidak mendapatkan pengetahuan/ilmu tentang hal tersebut, seperti risalah tersebut belum sampai kepadanya atau ketidakmampuannya untuk melakukan hal itu maka dia tidak diperintahkan untuk melakukan sesuatu yang tidak mampu dilakukannya dan hal itu bagi dirinya bukan merupakan keimanan dan ajaran agama yang wajib atasnya meskipun pada prinsipnya hal itu adalah bagian dari keimanan dan ajaran agama. Kedudukan mereka dalam hal ini seperti kedudukan orang yang sakit, orang yang dalam keadaan takut, orang yang sedang haidh dan seluruh ahlul a'dzaar (orang-orang yang memiliki 'udzur syar'i) yang tidak mampu menyempurnakan shalat dimana shalat yang mereka lakukan adalah shah. Contohnya: Kisah tentang kondisi salah seorang yang beriman dari keluarga Fir'aun yang hidup di tengah-tengah kaum Fir'aun dan isteri Fir'aun sendiri. Demikian pula dengan kisah nabi Yusuf ash-Shiddiq p dengan penduduk Mesir yang masih kafir se-hingga beliau tidak dapat menjalankan seluruh apa yang diketahuinya dari Dienul Islam. Keempat, Faktor Pemaksaan
1. Adanya pemaksaan merupakan salah satu mawaani' pemvonisan kafir terhadap orang per-orang; hal ini didukung oleh Kitabullah dan Sunnah Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa sallam serta perkataan ulama Salaf.
2. Maksud pemaksaan tersebut adalah sesuatu yang dapat mengakibat-kan terjadinya pembunuhan, pemukulan, penahanan atau perampasan terhadap harta yang amat diperlukan oleh korban (orang yang dipaksa).
Diantaranya adalah firman Allah Ta'ala: "Barangsiapa yang kafir kepada Allah sesudah dia beriman (dia mendapat kemurkaan Allah), kecuali orang yang dipaksa kafir padahal hatinya tetap tenang dalam beriman (dia tidak berdosa)." (An-Nahl: 106). Ini merupakan Maani' yang mu'tabar (yang dijadikan acuan) oleh ulama Salaf ; sebagaimana diriwayatkan dari al-Hasan bahwa dia berkata: "at-Taqiyyah (berlindung dibalik kekufuran sedangkan hati tetap tenang beriman-red) berlaku hingga Hari Kiamat". Sedangkan melakukan perbuatan-perbuatan kekufuran atau mengucapkan perkataan kufur demi untuk mendapatkan kedudukan atau harta tidak dianggap sebagai suatu pemaksaan." (Disarikan dari Majalah al-furqan oleh Abu Shofiyyah )